Desa Ranupani, Kecamatan Senduro memiliki segudang kesenian. Salah satunya kesenian Bantengan. Bantengan atau lebih dikenal dengan kesenian banteng, merupakan kesenian asli suku Tengger yang mendiami Desa dibawah kaki Gunung Semeru.
Kesenian Bantengan menjadi kesenian wajib bagi masyarakat setempat saat merayakan hari raya Karo. Pada Festival Semeru yang berlangsung hari ini, Minggu (24/09) Banteng diarak menuju lapangan desa setempat.
Kesenian Bantengan hampir sama dengan Kesenian Reog Ponorogo yakni, seorang pemain akan mengalami kesurupan arwah leluhur sehingga sering lepas kendali. Namun, terkadang tidak.
Menurut sesepuh kesenian bantengan desa setempat, Patuangkat mengaku, jika pemain kesenian Bantengan kesurupan, maka itu merupakan pertanda kurangnya sesajen persembahan kepada arwah leluhur.
"Sulit dikendalikan karena sajennya kurang lengkap. Ini akan sulit dipulihkan. Namun jika lengkap akan sangat mudah," kata Patuangkat.
Patuangkat mengatakan, sejarah kesenian bantengan berasal sejak Desa Ranupani muncul. Dimana dulu pada masa penjajahan kolonial Belanda, banyak sapi perah milik tentara belanda lepas kemana-mana.
Anehnya, sapi perah tersebut mengamuk dan sulit dijinakkan. "Tempat sapi perah mengamuk di kawasan Bantengan (tempat perbatasan Lumajang-Malang-red)," ungkap Patuangkat.
Kemudian sapi yang mengamuk di Bantengan dijadikan kesenian oleh warga sebagai kesenian khas Desa Ranupani. "Kesenian Bantengan asli milki Desa Ranupani," terangnya.
Kesenian tersebut terus berkembang di desa tersebut. Patuangkat menyebut, hampir setiap malam Jum'at melakukan berkumpul untuk latihan bersama."Kita ingin kesenian asli Ranupani ini terus berkembang agar bisa dinikmati anak cucu kelak," tuturnya.