Siswi SMPN 1 Kota Blitar, EPA (16), yang gantung diri pada Selasa (29/5/2018) ternyata berasal dari keluarga broken home. Korban jarang ketemu dengan orang tuanya lantaran tinggal di rumah kos.
Hal itu diungkapkan Kapolsek Sananwetan Kompol Kadiso pada Rabu (30/5/2018). Menurut dia, kedua orang tua korban sudah bercerai. Sementara korban dirawat ibunya.
Akhir-akhir ini korban punya masalah terkait sekolahnya pada penerimaan siswa baru. Namun, EPA tidak punya tempat untuk mengeluh atau mencari saran di mana korban nantinya melanjutkan sekolah.
“Korban selama liburan sebulan ini tidak pulang ke rumah. Dia hanya berbicara masalahnya dengan pembantu. Yang namanya pembantu hanya bisa mendengarkan. tidak bisa memberikan pemecahan solusi,” ungkap kapolsek.
Kondisi tersebut, lanjut Kadiso, tentu membuat korban buntu, tidak mempunyai solusi. Padahal, EPA bercita-cita bersekolah di SMA favoritnya, SMAN 1 Kota Blitar, seperti kakak-kakaknya.
“Dulu kakak-kakak korban sekolah di SMAN 1 yang saat itu belum ada sistem zonasi. Sedangkan dalam peraturan terbaru, ada sistem zonasi yang membuat korban terdampak sistem ini. Membuatnya sulit masuk ke SMAN 1,” ujarnya.
Kapolsek yakin tidak ada motif lain atas kematian EPA selain depresi akibat merasa susah masuk SMA favorit. Sebab, bila dilihat dari faktor ekonomi, EPA orang mampu lantaran kedua orang tua korban adalah seorang dokter. Hanya, keduanya berpisah, tidak tinggal serumah dan jarang bertemu dengan korban.
“Ibunya seorang dokter gigi dan ayahnya seorang dokter umum. Keduanya bercerai dan jarang berkomunikasi dengan korban,” pungkasnya. (*)