Mencatat Hujan
*dd nana
-Karena Tuhan mencipta yang berpasangan, untuk menggenapkan sekaligus mengganjilkan keberadaan-
Geluduk yang serupa batuk bapak
Langit yang kemudian menggelap dan terisak
Sampai air matanya mengetuk-ketuk pintu jendela kayu meminta masuk, merasuk ke dalam tubuh kecilmu.
Mata kecilmu terpana atas panggilan yang tidak dipahami itu
Sampai kau dewasa dan mengerti ada sesuatu yang tidak bisa dilisankan oleh suara.
Serupa cinta atau kesedihan berkarat di dalam dada.
Kini, mata yang telah indah oleh cuaca itu masih menatap segi empat pintu jendela. Menunggu isyarat air mata langit, menunggu sesuatu merasuk pada tubuh ranumnya.
Jemarinya bersiap untuk mencatat.
1/ Kisah Nuh yang dibayangkannya serupa bapak
Yang dengan kampaknya mencederai bebatang pohon
Dengan batuknya yang serupa geluduk. Dan peluh yang memanggil air mata langit untuk ikut serta tumpah.
Kata Bapak, hidup itu titah dan pilihan. Hanya dua setelahnya adalah kematian. "Maka laksanakan titah itu sebagai manusia. Karena pilihan kerap menjebakmu dalam ketidakmengertian."
Perempuan yang masih menunggu isyarat air mata di depan pintu jendela membayangkan gelombang duka yang memandikan raga-raga manusia.
Dia mencatat, "Sebelum kita mengetahui asin air mata sendiri. Selalu ada titah di sana,".
2/Kisah Sedih Perempuan yang Dibelah
Jendela itu berbunyi. Begitu halus awalnya dan kerap alpa dipahami telinga.
Sebelum peristiwa lahir dan membuatnya terisak.
Ada yang lepas dari raganya. Sesuatu yang dicintainya, sesuatu yang sangat dijaganya. Keseimbangan pada awal kisah manusia.
Satu menjadi dua. Dua yang membuatnya mengerti isak dan jerit air mata. Rasa sakit yang membuatnya menua dan menyeretnya pada sepi. Sebelum sunyi merangkulnya dan mengajak pergi.
Orang-orang berbiak dari ketunggalan. Membuat kisah-kisah sendiri tentang air mata dan kesenangan-kesenangan yang belum dicatatkan pada kitab-kitab.
"Dan perempuan yang dibelah itu menangis. Sendiri. Karena sepi bukan lagi karib yang membuatnya perkasa. Perempuan itu adalah ibuku," tulis perempuan yang masih menunggu isyarat air mata di depan pintu jendela.
"Ibu alpa bahwa segala yang berbisik halus lebih kuasa dari jeritan. Ibu alpa bahwa kisah dimulai dari hening sebelum pecah gaduh," lanjut kalimat yang mulai mengalir dari jemari perempuan penunggu isyarat.
Tapi air mata langit belum tumpah dan mengetuk-ketuk pintu jendelanya.
3/Kisah Cinta
Katanya itu warna yang akan menggairahkan hidup. Tapi kisah-kisah telah mengabarkan itu air mata. Cinta.
Padahal, seperti kata Bapak, hidup itu diawali titah sebelum pilihan.
Tapi di depan cinta, titah kerap membisu dan kalah. Dan akhirnya menjelma air mata.
Padahal, persuaan dan perpisahan hanyalah bait kecil dari titah, bukan pilihan. "Tapi kita sering kali memilih melupakan," catat perempuan yang menunggu isyarat air mata di depan pintu jendela.