Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Peristiwa

Sejarah Mencatat, Indonesia Pernah Diserang Wabah Penyakit Menular Hingga Karantina Wilayah yang Diabaikan

Penulis : Pipit Anggraeni - Editor : A Yahya

31 - Mar - 2020, 19:07

Placeholder
Ilustrasi (Istimewa).

Hingga hari ini, pandemi covid-19 masih menjadi perhatian Indonesia dan dunia. Berbagai upaya pencegahan penyebaran jenis penyakit menular ini pun terus dilakukan. Dengan harapan, virus yang menyerang organ pernapasan itu segera menghilang.

Namun dalam catatan sejarah, sebenarnya bukan kali pertama Indonesia diserang penyakit menular yang cukup membuat panik tersebut. Sebelum Indonesia merdeka, sejarah mencatat negeri ini pernah diserang penyakit menular yaitu pes, yang menyebabkan ribuan nyawa berjatuhan.

Malang merupakan daerah yang diserang penyakit yang cukup buas tersebut. Sekitar 1911 hingga 1916, ribuan masyarakat tercatat meninggal dunia lantaran penyakit yang ditularkan melalui tikus yang terinfeksi basil Pes tersebut.

Alumnus Jurusan Sejarah Universitas Indonesia (UI), Syefri Luwis yang memiliki konsentrasi mengenai sejarah penyakit di Indonesia sebelumnya sempat melakukan penelitian di Malang. Untuk menyelesaikan program Sarjananya, Syefri mengangkat tulisan tentang Pemberantasan Penyakit Pes di Malang, 1911-1916 (2008).

Dari hasil penelitiannya tersebut, Syefri mengungkapan sederet fakta menarik. Salah satunya adalah perkembangan penyakit pes yang pada awal abad ke 20 tersebut telah menyerang wilayah Malang. Hingga akhirnya, Malang menjadi wilayah pertama yang sempat dilakukan karantina lokal.

"Sebenarnya Pes ditemukan pertama kali di Deli, Pantai Timur Sumatera pada 1905. Ada dua korban dari penyakit itu. Tapi pemerintah Kolonial Hindia Belanda saat itu hanya menganggap angin lalu. Karena kematian hanya dua kasus," katanya saat dihubungi melalui sambungan seluler, Selasa (31/3/2020).

Saat jatuh dua korban tersebut, menurutnya ada seorang dokter yang mewanti-wanti pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Karena pada saat yang sama, China dan Myanmar hingga Arab juga diserang wabah yang sama. Namun lagi-lagi, pemerintah mengabaikan peringatan tersebut.

Baru pada 1911 wabah pes menyerang Jawa, dan Malang merupakan daerah pembukanya. Ironisnya, wabah tersebut masuk melalui proses impor beras. Lantaran saat itu terjadi gagal panen dan membuat pemerintah Kolonial Hindia Belanda memilih mengimpor beras dari China dan Myanmar.

Sementara di dalam beras-beras tersebut terdapat banyak tikus yang terinveksi pes dan mati. Sehingga, saat beras diturunkan di area stasiun Malang, maka kutu yang ada di bangkai tikus mulai mencari induk lain. Induk lain itu pada penelitian berikutnya ditemukan ada di dalam tubuh tikus lokal.

Bukan hanya pada tikus, kutu-kutu tersebut juga banyak bersarang di tanah yang juga menjadi lantai rumah-rumah sebagian besar masyarakat Bumiputera di Malang saat itu. Penyebaran penyakit pes pun akhirnya tak terelakkan dan berkembang begitu cepat.

Wabah tersebut bertahan cukup lama, lantaran Malang memiliki suhu yang sangat dingin dan sejuk. Sehingga membuat kutu yang hidup di tikus mampu bertahan lebih lama. Sementara ketika inang kutu yaitu tikus mati, kutu-kutu tersebut menyelinap di tanah yang juga menjadi lantai rumah warga.

"Saat itu, rumah masyarakat terbuat dari bambu yang jadi sarang tikus dan kutu. Masyarakat saat itu juga tak mengenakan alas kaki," terangnya lagi.

Lebih jauh dia menyampaikan, wabah pes saat itu banyak menyerang masyarakat Malang, lantaran saat itu terjadi longsor di daerah Turen. Sehingga, beras-beras yang diimpor dari China dan Myanmar tersebut diturunkan di gudang-gudang dekat stasiun di kawasan Malang.

Kabar wabah penyakit pes itu sebelumnya ditampik habis-habisan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Hingga akhirnya, pada 1911 hingga 1912 tercatat ada dua ribuan orang meninggal dunia lantaran penyakit tersebut.

"Tapi dalam catatan surat kabar, jumlah kematian lantaran kasus tersebut melebihi dua ribu. Karena ada beberapa perkampungan di Malang yang pendudukanya habis total lantaran meninggal," bebernya.

Pada 1913 dan 1914, tercatat ada 15 ribu lebih korban yang meninggal dunia. Jumlah korban yang berkali lipat dibanding 1911 dan 1912 itu terbilang sangat luar biasa. Karena kenaikannya hingga berkali-kali lipat.

Angka kematian yang tinggi itu salah satunya dikarenakan adanya proses pengabaian karantina yang sebelumnya telah ditetapkan oleh para dokter dalam kurun waktu satu tahun.

Dalam masa karantina yang berlangsung pada kisaran 1911 dan 1912 itu, angka kematian lantaran penyakit pes berada di kisaran dua ribu. Sementara korban yang berjatuhan pada saat karantian dibuka menyentuh angka 15 ribu.

"Tapi itu bukan angka pasti. Karena ada manipulasi data di dalamnya. Kemungkinan angka kematiannya lebih dari itu," tambahnya.

Selama masa karantina lokal, menurutnya setiap daerah perbatasan di perkampungan dijaga oleh pihak militer. Proses penjagaan sangat ketat selama masa karantina. Di mana masyarakat tak bisa keluar atau masuk perkampungan dengan bebas.

Bahkan, selama masa karantina juga telah dibuat puluhan barak di setiap perkampungan untuk merawat masyarakat yang terjangkit pes. Ada beberapa juga rumah-rumah warga yang sengaja dihanguskan untuk membunuh tikus.

"Tapi upaya itu ternyata tak cukup berhasil. Korban tetap berjatuhan," terangnya lagi.

Selama masa karantina, menurutnya muncul banyak permasalahan. Salah satunya adalah aksi penolakan dari masyarakat yang tetap menginginkan agar wilayah mereka tak dikarantina. Karena mereka memang merupakan pekerja yang harus mencari penghasilan.

Selain itu, penolakan juga banyak dilakukan oleh pengusaha perkebunan. Pasalnya, kuli perkebunan mereka sebagian besar adalah masyarakar yang wilayahnya diberlakukan karantina lokal. Hingga akhirnya, karantina tak berlangsung lama dan menimbulkan lebih banyak lagi korban.

Korban yang berjatuhan pun bukan hanya masyarakat sipil. Melainkan banyak dari kalangan medis, yaitu dokter dan para perawat yang melakukan upaya pertolongan dengan tanpa dilengkapi oleh Alat Pelindung Diri (APD).

Petugas medis yang gugur tersebut kebanyakan merupakan dokter bumiputera. Bahkan, beberapa di antaranya merupakan mahasiswa kedokteran angkatan terakhir yang belum menyelesaikan masa studinya.

Perlu diketahui juga, saat itu jumlah tenaga medis di Malang dan Indonesia masih sangat terbatas. Sehingga, tenaga medis yang mengatasi wabah tersebut berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Salah satu dokter yang terkenal dan cukup berjasa dalam penanganan wabah pes adalah dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Tokoh luar biasa yang kemudian juga menjadi tokoh pergerakan di Indonesia.

Sementara itu, saat wabah pes melanda begitu cepat, upaya-upaya lain juga dilakukan. Salah satunya adalah menyemprot disinfektan di rumah-rumah warga hingga kereta yang baru saja tiba di Malang. Namun lagi-lagi upaya tersebut tak banyak berhasil.

"Kalau dilihat pada polanya, karantina yang dilakukan saat itu memang lebih efektif. Karena saat wabah menyerang, penyebab pastinya juga belum diketahui," terangnya.

Karantina pertama di Indonesia yang terjadi di Malang itu memang sangat cukup menarik untuk dibahas. Rencananya, cerita di masa lalu itu akan dikupas habis dalam diskusi Kuliah Darurat yang digelar Heuristik melalui live instagram bersama Syefri Luwis pada Rabu (1/4/2020) besok pukul 19.30 WIB sampai selesai.


Topik

Peristiwa malang berita-malang berita-hari-ini Sejarah-Indonesia-tentang-penyakit-menular Indonesia-Pernah-Diserang-Wabah-Penyakit-Menular Alumnus-Jurusan-Sejarah-Universitas-Indonesia Syefri-Luwis Malang-menjadi-wilayah-pertama-karantina-lokal Kuliah-Darurat-yang-digelar-Heuristik



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Pipit Anggraeni

Editor

A Yahya